Jumat, 09 Desember 2011

Dayuan Rasa

Dalam gelap ku menunggumu
Disertai gemericik gerimis
Yang sedang mendayu
Mengundang mesra rindu di lubuk
Hati para penggalau cinta


:menjalin kata bersamamu angel

Gelora Sang Cinta

Sayang, Nyanyikan syair berdayu Rengkuh jiwa hangatkan kalbu Cinta, Tanamkan sepetak rindu Rangsang aku bermimpi syahdu Kasih, Tebar rasa dalam hati Lukis kisah dalam sepi Lipat rapi bayangmu dalam mimpi Sampai nanti Tetap cintamu kuasai hati Sampai nanti

:yang sedang dilanda cinta lovelovelove

Suatu Penggapaian

Ku coba gapai langit langit
Asam laktat mulai berembun di lengan
Namun hanya kua abaikan begitu
Hingga akhirnya
Ku gapai bintang
Yang selalu berpendar padamu

:sebelum lelap, untukmu yang kusayang

Sabtu, 03 Desember 2011

Syair Romantis

Cinta tawan peluh dalam penat
Sayang sukar lepaskan gugat
Bak kancing baju terjahit rapat
Hatimu telah ku genggam erat

> Syairku yang beruntung menang di kuis syair Majalah STORY ihikhik

Dilema Bulan Bintang

Lihatlah !
Bulan sabit sampaikan senyum sendunya
Pada bintang
Coba tengoklah !
Bintang membinarkan matanya padamu
Takutku,,
Bulan cemburu padamu
Hingga bulat binarnya menjauh dari sedut pandangmu
Aku takut
Tak lagi kau senyum, hilang
Sabitmu direbut bulan
Karena kau bercumbu dengan bintang
Tapi takkan kubiarkan !
Kan kuraih bulan
Ku pasang sabitnya dalam lekuk bibirmu
Agar kau lagi dapat
Sampaikan simpulmu itu
Pada bintang
Pada bulanmu
Dan
Padaku…

> jatah puisi buat sohibku, Ahmad Fauzan Adhim

Luna di Antara Dua (versi 2)

Sebetulnya teratai adalah bunga favoritnya. Tapi karena lebih gampang nyari mawar ketimbang teratai, maka bunga itu pun jadi lampiasan kegundahannya. Ridho, Thole… Ridho, Thole. Kelopak mawar itu dicabutinya satu-satu. Tiap menyebut nama orang yang menghiasi hatinya baru-baru ini, wajah Ridho dan Thole berkelebat bergantian di benaknya.
Sesaat lamunan Luna menerawang jauh pada Ridho. Cowok tinggi jangkung yang tak pernah melepas jaket biru yang tiap hari menyelimutinya. Mimpi besar untuk menjadi artis menguatkannya untuk melindungi pigmen kulitnya dari sengatan ganas sang matahari. Walaupun keringat bercucuran tak kunjung mengurungkan tekadnya itu. Yang paling gak nahan, jaketnya gak pernah ganti! Eits, jangan salah. Dia wangi kok. “Jadikan aku pacarmu dan aku akan memberi jaket birumu teman hidup,” Luna berceletuk iseng hingga sebuah simpul senyum tergores manis di lengkung bibirnya.
Ridho, Thole… Luna kembali mengeja dua kata itu dalam serpihan kelopak mawar merah yang dijatuhkannya. Thole. Gerakan tangannya berhenti. Bayangan Thole tanpa ijin masuk memenuhi ruang hatinya. Seorang bujang dari desa tak bertuan yang hobi makan singkong rasa cokelat. Ya, dia suka mencocol singkongnya dalam coklat hangat yang sering Luna sajikan untuknya. “Ini nih makanan terlezat di dunia. Harusnya bukan rujak cingur yang jadi makanan khas Malang, tapi ya ini,” cerocos Thole memuja singkong cokelat sambil melahapnya kala senja itu. Mengingat Thole membuat Luna rindu pada sosok yang tak pernah absen menghiasi tawanya tiga bulan terakhir ini.
Hingga kelopak terakhir. Ridho? Ah… Luna memang mencintai Ridho. Tapi sisi hatinya yang lain juga terselip nama Thole. Dia gak bisa milih. Tapi dia juga gak mungkin memiliki keduanya. Hidup terkadang terasa sulit dibuatnya.
“Na, uda kayak orang hamil aja nyabutin mawar gitu. Positif, negatif, positif, negatif,” ejekan Thole merusak lamunan Luna.
“Yee, syirik aja loe,” balas Luna merajuk manja. Memang tak seharusnya ia terlelap dalam lamunan hampanya di malam hari raya Idul Adha ini. Yes, it’s time to be happy. Gumamnya dalam hati. Luna, Thole dan Ridho akan bertakbir ria di atas gedung apartemen Luna semalaman.
Tiba-tiba Thole mengeluarkan singkong yang telah dibalut cokelat nikmat berbentuk hati bertuliskan nama Luna dari tas kecilnya. Diberikannya pada Luna dengan seutas senyum. Ah, makanan sesederhana itu bisa disulapnya menjadi hadiah romantis untuknya. Luna tersipu sekaligus bingung dibuatnya. Entah apa artinya, tapi Luna sedang tak ingin berpikir tentang rasa sekarang.
Ridho pun tak mau kalah. Dia mengeluarkan gitarnya dan mengakustikan puisi yang spontan dibuatnya.
Pandangi bulat matamu, riuk redam hatiku
Ukir lembut rasa rindu, dalam pahatan indah cintamu
Luna bersorak mendengarnya. Luna sungguh tak menyangka akan mendapat kejutan dari dua lelakinya itu. “Ini malam harusnya bertakbir, tapi kalian ini…,” celetuk Luna heran tanpa melanjutkan kalimatnya. Meskipun ia masih tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya.
“Hehe.. agar selaras dan seimbang atara kebutuhan jiwa dan raga,” kata Ridho dengan gaya soknya. Thole mengangguk setuju sambil mengangkat obornya tinggi-tinggi.
“Udah mirip patung Liberti belum?” tanya Thole yang berhasil membuat kedua kawannya cekikikan. Tiga obor ditempatkan di depan mereka. Sambil memandangi langit berbintang, Luna bersama dua lelakinya bertakbir bersama. Malam ini akan menjadi malam terindah untuknya dengan atau tanpa kata ‘cinta’.
*
Hari raya Idul Adha tiba jua. Setelah seluruh umat berbondong-bondong menyusuri jalan menuju masjid, mereka menyaksikan prosesi penyembelihan kambing di samping masjid dekat rumahku. “Na, Liat kambing yuk. Kambing loe udah mau dipotong tuh.” Luna tak menolak ajakan Ridho. Hari ini keluarga Luna mengorbankan satu kambing buat dia. Awalnya Luna antusias menyaksikan kambingnya disembelih. Tapi setelah dia melihat si kambing, dia sontak menutupi wajahnya dengan dua telapak tangannya. Bayangin ajah, ada papan nama besar di leher si kambing jantan bertintahkan sebuah nama. Aluna Sastika. Itu nama Luna!
“Kambing cantik,” goda Thole sembari menuntun kambing Luna. Luna tersenyum kecut.
“Itu bukan nama gue,” teriak Luna melawan Thole. Ridho menyembunyikan tawanya yang tak lama ketahuan juga oleh Luna.
“Oh, jadi gitu. Loe ikutan nertawain gue. OK, fine!” Luna emosi sambil mencubiti Ridho. Tawa Ridho semakin menjadi saat mendapati bulatan merah di pipi Luna. Tak lama kemudian Thole berlari ke arah Luna sambil membawa sesuatu di balik badannya.
“Luna cantik, ini gue bawa sesuatu spesial buat loe.” Luna curiga dengan gerik Thole. Apalagi dia mengendus bau Thole yang sudah terkontaminasi dengan bau kambing itu lebih menusuk dari biasanya.
“Taraaaa,” teriakan Thole sontak membuat Luna kaget. Luna lari terbirit-birit melihat kepala kambing dengan indah tergantung di lengan Thole. Sukses membuat Luna ketakutan, Thole dan Ridho tertawa lebih puas dari sebelumnya. Mereka tenggelam dalam tawa. Luna pun tak pernah memilih. Hingga kini.

> Ini yang akhirnya aku kirim buat ajang Cerpen Dadakan di majalah STORY.. tapi tetep belum beruntung buat dimuat.. hehe Liat cerpen versi 1nya juga ya,, masih cuLun tapinya,, gigitjarigigitjarigigitjari

Luna di Antara Dua (versi 1)

Sebetulnya teratai adalah bunga favoritnya. Tapi karena lebih gampang nyari mawar ketimbang teratai, maka bunga itu pun jadi lampiasan kegundahannya. Ridho, Thole… Ridho, Thole. Kelopak mawar itu dicabutinya satu-satu. Tiap menyebut nama orang yang menghiasi hatinya baru-baru ini, wajah Ridho dan Thole berkelebat bergantian di pikirannya.
Sesaat lamunan Luna menerawang jauh pada Ridho. Cowok paling cakep di sekolah yang tak pernah bisa melepas jaket biru yang tiap hari menyelimutinya. Mimpi besar untuk menjadi artis top ibukota menguatkannya untuk melindungi pigmen kulitnya dari sengatan ganas sang matahari. Walaupun keringat bercucuran tak kunjung mengurungkan tekadnya itu. Yang paling gak nahan, jaketnya belum pernah ganti! Eits, jangan salah. Dia wangi sekali. “Jadikan aku pacarmu dan aku akan memberi jaket birumu teman hidup,” Luna berceletuk iseng hingga sebuah simpul senyum tergores manis di lengkung bibirnya.
            Ridho, Thole… Luna kembali mengeja dua kata itu dalam serpihan kelopak mawar merah yang dijatuhkannya. Thole. Gerakan tangannya berhenti. Bayangan Thole tanpa ijin masuk memenuhi ruang hatinya. Seorang bujang dari desa tak bertuan yang hobi makan singkong rasa cokelat. Ya, dia suka mencocol singkongnya dalam coklat hangat yang sering Luna sajikan untuknya. “Ini nih makanan terlezat di dunia. Harusnya bukan rujak cingur yang jadi makanan khas Malang, tapi ya singkong cokelat ini,” cerocos Thole memuja singkong cokelat sambil melahapnya kala senja itu. Ya, Malang adalah kota asalnya. Mengingat Thole membuat Luna rindu pada sosok yang tak pernah absen menghiasi tawanya tiga bulan terakhir ini.
Hingga kelopak terakhir. Ridho? Ah… Luna memang mencintai Ridho. Tapi sisi hatinya yang lain juga terselip nama Thole. Dia gak bisa milih. Tapi dia juga gak mungkin memiliki keduanya. Entah darimana rasa itu bisa berbarengan muncul menyelubungi hati Luna. Tertambat pada dua sosok yang amat berbeda baik dari kualitas maupun kuantitas. Bunga mawar, kocokan arisan ibu Luna sudah jadi saksi pemilihan keduanya. Hasilnya, nol besar!
***
            “Apa ini apa itu? Kenapa cuka rasanya asam?” tebakan Thole menghiasi siang Luna di taman sekolah.
            “Kenapa cobak?” tanya Luna penasaran.
            “Karena manisnya punya senyum Luna,” jawab Thole sambil mengerlingkan matanya pada Luna. Ah, dia lagi nggombal ternyata. Luna mencubitnya manja. Thole tertawa lepas melihat pipi Lunanya membentuk bulatan merah.
            “Luna, makan yuk,” sapaan Ridho menghentikan tawa mereka. Luna terjebak pada pilihan sulit. Dan Luna sebagai wanita biasa yang lemah, tak kuasa untuk menolak tawaran manis salah satu lelaki idamannya. Luna menatap mata Thole dengan berkedip dua kali. Itu isyarat permohonannya pada Thole. Memaksa Thole dengan wajah polosnya mengangguk tak rela.
            “Le, ikut juga yuk.” Luna kaget mendengar ajakan itu. Dia tak bisa bayangkan berada satu meja dengan kedua perebut hatinya. Pasti salah tingkah karena tak ingin ada yang teracuhkan olehnya. Pasti kepala Luna capek. Noleh kanan, noleh kiri, noleh kanan lagi, buat ngeladenin dua cowok itu. ‘Oh Tuhan, apa ini yang namanya kiamat kecil?’ gumamnya dalam hati sambil mengusap keringat dingin yang mulai mengucur di dahinya.
            “Lun, Lunaa,” teriakan Ridho mengejutkannya. Luna mendapati Ridho dan Thole sudah berada beberapa langkah di depan Luna. Luna tersadar dari lamunan ketakutannya sebelum kemudian mengejar dua bujang bersahabat itu.
            Mereka bertiga duduk di sebuah dipan kecil bermejakan kayu usang. Thole mengeluarkan kotak makan yang tak pernah diisi selain singkong dan krim cokelat favoritnya.
            “Loe doyan banget ya makan begituan?” tanya Ridho sambil mengendus bau khas singkong Malang itu.
            “The best food ever,” jawabnya sambil berlaga bak patung Liberti.
            “Sok banget si loe,” sebuah tinju mendarat di lengan Thole yang menenggelamkan mereka dalam tawa.
            “Ah, kalian ini. Aku dicuekin,” celetuk Luna merajuk mesra.
            “Oh maaf Lunaku sayang. Kita sedang tergila-gila pada singkong lembut ini,” goda Ridho yang makin membuat Luna cemberut manis.
            “Sebagai hukuman, aku kasih tantangan buat kalian berdua. Lomba ngegombalin aku. Gimana?” tawar Luna.
            “Siapa takut. Dengerin pantun dari Mbah Thole ini. Bulet bulet buah duku. Luna imut cuma punyaku. Hahaha.” Thole sedang beraksi.
            “Ah, pantun apaan tuh. Kerenan juga punya gue. Bapaknya Luna tukang jual majalah ya?” balas Ridho sambil menyenggol lengan Luna.
            “Kok tau, Bang?”
            “Karena kamu udah terbitkan cinta di tiap lembaranku,” jawab Ridho sambil menggenggam tangan Luna yang tak lama direbut oleh Thole. Eits, bukan tangan Luna yang direbut Thole, tapi tangan Ridho. Nah loh!
            “Ridho, jangan kau duakan cinta kita,” pinta Thole sambil berlutut di depannya. Wah, rayuan maut Thole tampaknya salah sasaran. Gelak tawa yang spontan lepas dari mulut mungil mereka. Luna makin sayang pada kedua lelakinya itu dan makin tak tega kalau saat-saat seperti ini hilang dari gerak mereka. Luna berbijak diri, memiliki keduanya lebih di genggaman kisah sang sahabat abadi. 

> Ini cerpen yang gag jadi aku kirim ke majalah STORY.. kalo kataku, gak ada gregetnya.. baca hasiL revisinya juga yaa,, versi 2:)