Sabtu, 03 Desember 2011

Luna di Antara Dua (versi 2)

Sebetulnya teratai adalah bunga favoritnya. Tapi karena lebih gampang nyari mawar ketimbang teratai, maka bunga itu pun jadi lampiasan kegundahannya. Ridho, Thole… Ridho, Thole. Kelopak mawar itu dicabutinya satu-satu. Tiap menyebut nama orang yang menghiasi hatinya baru-baru ini, wajah Ridho dan Thole berkelebat bergantian di benaknya.
Sesaat lamunan Luna menerawang jauh pada Ridho. Cowok tinggi jangkung yang tak pernah melepas jaket biru yang tiap hari menyelimutinya. Mimpi besar untuk menjadi artis menguatkannya untuk melindungi pigmen kulitnya dari sengatan ganas sang matahari. Walaupun keringat bercucuran tak kunjung mengurungkan tekadnya itu. Yang paling gak nahan, jaketnya gak pernah ganti! Eits, jangan salah. Dia wangi kok. “Jadikan aku pacarmu dan aku akan memberi jaket birumu teman hidup,” Luna berceletuk iseng hingga sebuah simpul senyum tergores manis di lengkung bibirnya.
Ridho, Thole… Luna kembali mengeja dua kata itu dalam serpihan kelopak mawar merah yang dijatuhkannya. Thole. Gerakan tangannya berhenti. Bayangan Thole tanpa ijin masuk memenuhi ruang hatinya. Seorang bujang dari desa tak bertuan yang hobi makan singkong rasa cokelat. Ya, dia suka mencocol singkongnya dalam coklat hangat yang sering Luna sajikan untuknya. “Ini nih makanan terlezat di dunia. Harusnya bukan rujak cingur yang jadi makanan khas Malang, tapi ya ini,” cerocos Thole memuja singkong cokelat sambil melahapnya kala senja itu. Mengingat Thole membuat Luna rindu pada sosok yang tak pernah absen menghiasi tawanya tiga bulan terakhir ini.
Hingga kelopak terakhir. Ridho? Ah… Luna memang mencintai Ridho. Tapi sisi hatinya yang lain juga terselip nama Thole. Dia gak bisa milih. Tapi dia juga gak mungkin memiliki keduanya. Hidup terkadang terasa sulit dibuatnya.
“Na, uda kayak orang hamil aja nyabutin mawar gitu. Positif, negatif, positif, negatif,” ejekan Thole merusak lamunan Luna.
“Yee, syirik aja loe,” balas Luna merajuk manja. Memang tak seharusnya ia terlelap dalam lamunan hampanya di malam hari raya Idul Adha ini. Yes, it’s time to be happy. Gumamnya dalam hati. Luna, Thole dan Ridho akan bertakbir ria di atas gedung apartemen Luna semalaman.
Tiba-tiba Thole mengeluarkan singkong yang telah dibalut cokelat nikmat berbentuk hati bertuliskan nama Luna dari tas kecilnya. Diberikannya pada Luna dengan seutas senyum. Ah, makanan sesederhana itu bisa disulapnya menjadi hadiah romantis untuknya. Luna tersipu sekaligus bingung dibuatnya. Entah apa artinya, tapi Luna sedang tak ingin berpikir tentang rasa sekarang.
Ridho pun tak mau kalah. Dia mengeluarkan gitarnya dan mengakustikan puisi yang spontan dibuatnya.
Pandangi bulat matamu, riuk redam hatiku
Ukir lembut rasa rindu, dalam pahatan indah cintamu
Luna bersorak mendengarnya. Luna sungguh tak menyangka akan mendapat kejutan dari dua lelakinya itu. “Ini malam harusnya bertakbir, tapi kalian ini…,” celetuk Luna heran tanpa melanjutkan kalimatnya. Meskipun ia masih tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya.
“Hehe.. agar selaras dan seimbang atara kebutuhan jiwa dan raga,” kata Ridho dengan gaya soknya. Thole mengangguk setuju sambil mengangkat obornya tinggi-tinggi.
“Udah mirip patung Liberti belum?” tanya Thole yang berhasil membuat kedua kawannya cekikikan. Tiga obor ditempatkan di depan mereka. Sambil memandangi langit berbintang, Luna bersama dua lelakinya bertakbir bersama. Malam ini akan menjadi malam terindah untuknya dengan atau tanpa kata ‘cinta’.
*
Hari raya Idul Adha tiba jua. Setelah seluruh umat berbondong-bondong menyusuri jalan menuju masjid, mereka menyaksikan prosesi penyembelihan kambing di samping masjid dekat rumahku. “Na, Liat kambing yuk. Kambing loe udah mau dipotong tuh.” Luna tak menolak ajakan Ridho. Hari ini keluarga Luna mengorbankan satu kambing buat dia. Awalnya Luna antusias menyaksikan kambingnya disembelih. Tapi setelah dia melihat si kambing, dia sontak menutupi wajahnya dengan dua telapak tangannya. Bayangin ajah, ada papan nama besar di leher si kambing jantan bertintahkan sebuah nama. Aluna Sastika. Itu nama Luna!
“Kambing cantik,” goda Thole sembari menuntun kambing Luna. Luna tersenyum kecut.
“Itu bukan nama gue,” teriak Luna melawan Thole. Ridho menyembunyikan tawanya yang tak lama ketahuan juga oleh Luna.
“Oh, jadi gitu. Loe ikutan nertawain gue. OK, fine!” Luna emosi sambil mencubiti Ridho. Tawa Ridho semakin menjadi saat mendapati bulatan merah di pipi Luna. Tak lama kemudian Thole berlari ke arah Luna sambil membawa sesuatu di balik badannya.
“Luna cantik, ini gue bawa sesuatu spesial buat loe.” Luna curiga dengan gerik Thole. Apalagi dia mengendus bau Thole yang sudah terkontaminasi dengan bau kambing itu lebih menusuk dari biasanya.
“Taraaaa,” teriakan Thole sontak membuat Luna kaget. Luna lari terbirit-birit melihat kepala kambing dengan indah tergantung di lengan Thole. Sukses membuat Luna ketakutan, Thole dan Ridho tertawa lebih puas dari sebelumnya. Mereka tenggelam dalam tawa. Luna pun tak pernah memilih. Hingga kini.

> Ini yang akhirnya aku kirim buat ajang Cerpen Dadakan di majalah STORY.. tapi tetep belum beruntung buat dimuat.. hehe Liat cerpen versi 1nya juga ya,, masih cuLun tapinya,, gigitjarigigitjarigigitjari

2 komentar:

izfa mengatakan...

wz aq no coment,aq cm mw blang ae klo mbk eliz maqin ziiip....

Elis mengatakan...

hehe,, terimakasih.. :)

Posting Komentar