Jumat, 03 Juni 2011

APA KATA SUTARDJI CALZOUM BACHRI PADA BUMI ???


Bumi itu bulat. Tiap manusia pasti meyakininya. Bukan meyakini mungkin, tetapi teryakini oleh sang Christopher Columbus yang telah sukses mengitari bumi. Kira-kira, apa filosofi dari bentuk bumi yang bulat ???
            Sutardji Calzoum Bachri merupakan seorang seniman yang dapat menyawakan karyanya. Beliau menulis mantra dalam kata dan membebaskan kata dari jeratan pengertian. Menurut beliau, setiap orang harus membikin sidik jarinya sendiri dan karakternya sendiri agar tak tenggelam dan bisa memberi warna.
            Dalam karyanya yang menawan, Sutardji menanamkan berbagai makna. Puisi Ayo merupakan salah satu puisi yang dapat diinterpretasikan pada bumi. Puisi yang merebakkan harumnya untuk mengajak kaum agar lebih menghargai bumi. Dan akan ditemukan filosofi “bumi itu bulat” dalam senyawa bait-bait ini.
AYO
Adakah yang lebih tobat, dibanding air mata
adakah yang lebih mengucap, dibanding airmata
adakah yang lebih nyata, adakah yang lebih hakekat, dibanding airmata
adakah yang lebih lembut, adakah yang lebih dahsyat, dibanding airmata
para pemuda yang melimpah di jalan jalan, itulah airmata
samudera puluhan tahun derita, yang dierami ayahbunda mereka,
dan diemban ratusan juta
mulut luka yang terpaksa, mengatup diam
kini airmata, lantang menderam
meski muka kalian, takkan dapat selamat, di hadapan arwah sejarah
ayo
masih ada sedikit saat, untuk membasuh, pada dalam dan luas, airmata ini
ayo
jangan bandel, jangan nekat pada hakekat
jangan kalian simbahkan, gas airmata pada lautan airmata
                          malah tambah merebak
jangan letupkan peluru, logam akan menangis, dan tenggelam,
dikedalaman airmata
jangan gunakan pentungan, mana ada hikmah, mampat, karena pentungan
para muda yang raib nyawa, Karena tembakan,
yang pecah kepala, sebab pentungan
memang tak lagi mungkin, jadi sarjana atau apa saja
namun, mereka telah, nyempurnakan, bakat gemilang, sebagai airmata
yang kini dan kelak, selalu dibilang, bagi perjalanan bangsa
Dalam era yang penuh dengan kefana’an ini, manusia seolah tak punya sesuatu bahkan tak punya apapun. Mungkin kini bukan lagi seolah, tetapi tepatnya. Rasa peduli kini hampir musnah. Bahkan peduli pada dirinya sendiri pun tidak. Idealnya, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah. Tetapi dalam kenyataannya, manusia tak urung hanyalah pengguna dan perusak. Lalu apa yang dimiliki manusia saat ini? Apa masih ada yang dimiliki manusia saat ini? Jawabannya  cuma satu, manusia hanya mempunyai raga. Sekalipun manusia mempunyai jiwa yang menggerakkan raga mereka, tapi jiwa ini tak lebih dari nafsu semata. Tak lebih dari itu.
Bumi kini berada dalam raupan air mata. Hampir tak ada jiwa-jiwa yang tergugah untuk menyeka air matanya. Nafsu kini telah menghapuskan arti dari air mata. Air mata yang tulus. Air mata yang ingin dimengerti. Air mata yang ingin dipedulikan. Dan air mata yang ingin menggugah jiwa-jiwa yang lecut. Peduli pada sesama pun belum, apalagi ke bumi? Pertanyaan ini dirasa cukup untuk mewakili apa yang dilakukan manusia sekarang.
Bumi menangis melalui penjajahnya. Namun, mereka bukanlah penjajah yang beruntung seperti para pejabat dan ningrat. Mereka adalah penjajah yang tidak ingin dijajah. Mereka yang tidak ingin terjerat dalam siksaan hidup yang berat. Dan mereka ingin para petinggi sedikit melihat ke arah mereka. Nafsu mereka terhalang oleh keadaan hingga mereka mungkin belum termasuk manusia yang menghancurkan saudaranya sendiri. Keadaan ini bertolak belakang dengan apa yang dilakukan orang-orang modern saat ini. Orang-orang modern telah menghancurkan semuanya. Menghancurkan dirinya sendiri dengan nafsunya. Menghancurkan saudaranya juga dengan nafsunya. Dan menghancurkan lingkungannya lagi-lagi dengan nafsunya.
Nafsu memang dapat mengendalikan manusia yang tak kuat hatinya. Dengan nafsu, manusia dapat melakukan apa saja yang dilarang. Karena segala sesuatu yang dilarang itu adalah dosa, maka manusia telah menghancurkan dirinya sendiri dengan memperbanyak dosanya. Tak bisa dibayangkan jika Tuhan telah murka kepadanya.
Kegiatan berdosanya itu juga telah merugikan saudaranya. Manusia dengan nafsu yang besar pada kekuasaan dan kekayaan, telah membawa risiko yang besar pula kepada saudaranya. Contohnya saja korupsi. Hukumannya dapat berupa penyitaan aset. Dengan penyitaan ini, nasib keluarga dipertaruhkan. Tidak hanya dalam pemenuhan kebutuhan nantinya tetapi juga penerimaan mereka dalam masyarakat. Baik saudara sedarah maupun tidak, pasti ikut merasakan kerugian. Tidak rela uangnya yang seharusnya diberikan kepada orang-orang yang membuat bumi ini menangis, malah digunakan untuk menghidupi dirinya sendiri. Tak ingin menghentikan tangisan bumi, malah membuatnya semakin menangis. Betapa mengerikan hipnotis uang di masa kini.
Belum lagi pada lingkungan yang erat hubungannya dengan bumi. Orang-orang modern kini identik dengan kendaraan mewah. Tiap kendaraan butuh bahan bakar. Bahan bakar dikeruk dari bumi. Jika kendaraan bertambah banyak, maka bertambah banyak pula pengerukan ini. Akhirnya, eksploitasi tambang pun berlangsung. Belum lagi efeknya ke ozon. Dampaknya, bencana pun tak teralihkan. Bumi semakin rusak. Siapa lagi yang dirugikan jika tidak dirinya sendiri, saudara-saudaranya bahkan anak cucu pun nasibnya masih dipertaruhkan.
Ayo, jangan bandel, jangan nekat pada hakekat, jangan kalian simbahkan, gas airmata pada lautan airmata, malah tambah merebak
Bait ini mengajak kita sadar akan penciptaan manusia di bumi. Manusia diciptakan sebagai khalifah yang harusnya tidak menambah beban di kehidupan yang sudah penuh dengan beban. Belum terlambat untuk memperbaiki semuanya.
Pada syair lanjutannya dijelaskan bahwa manusia tak bisa diubah kerasnya dengan kekerasan. Tidak akan mengambil hikmah, malah mampat karena pentungan, begitu kata Sutardji. Jika dilihat aksi demonstrasi yang marak terjadi, yang tujuannya ingin menekan kinerja pemerintah agar membaik, tak berdampak apa-apa. Hasilnya nol besar.
Bangkitlah !!! Bawa bumi ini ke tangan orang-orang yang pandai bersyukur. Perbaiki bumi dengan prestasi bukan anarkisasi. Bumi butuh orang-orang pintar untuk perbaiki kerusakannya yang kini sudah mulai akut. Bumi pun mengerti. Bumi tak ingin jasa-jasa pahlawan yang berjuang tuk membebaskan yang dianggap saudaranya dari yang mereka benci sebagai saudara, terbuang sia-sia. Bumi pun tak ingin penjajah itu menjajah dirinya.
Untungnya “Bumi itu Bulat” hingga bisa berputar. Memutar tepatnya. Memutar orang-orang yang tak berjiwa khalifah. Memutar orang-orang yang hanya memanfaatkan. Memutar rejeki orang-orang yang penyayang. Dan memutar kehidupan agar manusia sadar dan ikut merasakan berbagai keadaan baik di atas maupun di bawah.
Dari sini, filosofi bumi berbentuk bulat dapat disimpulkan. Bulat itu lingkaran. Lingkaran mempunyai satu poros untuk dapat berputar. Dan poros itu sebagai titik pusat yang merupakan acuan dari garis yang ada di sampingnya. Begitu juga kehidupan. Ada satu poros sebagai pedoman hidup, yaitu Tuhan. Baik buruknya amal manusia tak lepas dari pengawasannya.
Lingkaran juga mempunyai jari-jari. Jarak tiap titik pada lingkaran kepada titik poros adalah sama. Tetapi panjang jari-jari mempengaruhi luas lingkaran tersebut. Manusia diciptakan juga dalam keadaan yang sama. Dan Tuhan pun berlaku sama kepada makhluk-Nya karena Tuhan itu adil. Tetapi banyak tidaknya pengabdian manusia kepada Tuhan dan ilmu yang didapatkannya akan mempengaruhi derajat manusia.
Lingkaran merupakan kumpulan titik-titik yang memiliki jarak sama terhadap pusatnya. Dalam hal ini, yang menjadi pokok adalah jarak titik-titik pada lingkaran tersebut yang hampir tak berjarak. Berikut kehidupan manusia yang tak bisa lepas dari kehidupan manusia lainnya dan alam ini. Oleh karena itu, manusia tak seharusnya mengabaikan apa saja yang ada di lingkungannya, bahkan tak elok jika sampai membuat mereka mengeluarkan air mata.
Dan yang terakhir adalah sifat lingkaran yang dapat menggelinding. Dia dapat terus menggelinding jika tak ada batu yang menghalangi. Manusia pun begitu. Manusia akan terus menjalani kehidupan sampai akhir hayatnya. Manusia juga bisa melakukan segala nafsu baik yang baik maupun yang buruk. Nafsu buruk inilah batu kehidupan manusia. Dan sebaik-baik manusia adalah manusia yang dapat mengendalikan nafsu.

NB : Essai yang saya baru saya susun untuk mengikuti lomba essai di universitas.. sayangnya belum beruntung,, :)

2 komentar:

hacker mengatakan...

Masukan Komentar Anda

Sepenuhnya mengatakan...

Puisi SCB selalu menarik untuk dikupas

Posting Komentar