Minggu, 26 Juni 2011

Rumah di Atas Cahaya


Sang surya masih bermalas-malasan berselimut mega jingga yang terlihat sangat indah ketika aku pergi sekolah. Ingin rasanya aku bernyanyi dan berteriak mengumumkan pada dunia bahwa hari ini aku bahagia. Hal ini dilakukan hanya semata-mata aku berangkat ke sekolah 10 menit lebih awal. Bagi sebagian orang mungkin aku terlihat seperti orang yang bodoh yang bersuka cita hanya karena hal kecil seperti itu, tapi bagiku itu adalah kemebangan besar. Kemenangan besar? Ya! Kemenangan karena aku tidak perlu memacu sepeda motorku di depan pintu gerbang , karena aku terlambat dan harus berhadapan dengan Pak Alvin yang killer abiss!!
“Asyik nih, nggak bakalan ketangkep sama Pak Alvin yang super-super-super killer n nyebelin itu!!” kataku dalam hati. Saat aku memacu sepeda motorku dan kira-kira 500 meter dari sekolahku, tiba-tiba … dret-dret-dret … sepeda motorku berjalan tersendat-sendat dan dengan terpaksa aku pinggirkan, ku off kan, dan aku dorong deh! Huh sebell!!!
Was was diriku memikirkannya (duch Lebay!!). Ya terang saja aku was was waktu tinggal 10 menit lagi, tak ada tebengan lagi, akhirnya ku putuskan untuk sms temenku, mungkin aja dia belum berangkat sekolah atau seenggak-enggaknya dia masih di jalan, hanya itulah harapanku satu-satunya. Ternyata Allah masih berbaik hati kepadaku, ketika aku sedang mendorong sepedaku dengan rasa putus asa, suara yang kukenal menyapaku.
“Sepedamu kenapa, Da?” tanyanya lembut.
“Nggak tahu nih Ray, tiba-tiba aja mogok,” jawabku.
“Ya udah, kamu titipin aja sepedamu itu di rumah warga di sekitar sini terus kamu barengan aja sama aku ke sekolahnya,” Sarannya.
Tanpa piker panjang akupun langsung mengikuti sarannya, dan segera menitipkan sepedaku ke salah satu rumah warga. Rumah mungil yang ada di belakang warung itu  menjadi tempat penitipan sepedaku. Tak kusangka ternyata penghuni rumah itu sangat ramah.
“Bu, permisi sepeda motor saya mogok Bu, dan saya bermaksud untukk menitipkan sepeda saya di sini,” kataku yang semakin resah hanya tinggal 5 menit lagi pintu gerbang ditutup.
“Oh iya, taruh saja di situ, nduk,” jawabnya lembut.
“Makasih ya, Bu,” tanpa piker panjang aku langsung meletakkan sepedaku di teras rumahnya dan bergegas naik ke sepeda motor temenku.
“Mari, Bu,” kataku sambil tersenyum was was.
Raya segera memacu sepedanya dan Pak Alvin tersenyum menyeringai seakan-akan ingin menjaring kami dengan pintu gerbang, dan Alhamdulillah … kami lolos.
“Kring-kring-kring!!!” suara bel tiga yang berarti jam pelajaran usai. Setelah itu aku ke rumah wanita yang kutitipi sepedaku tadi dan mengatakan bahwa aku akan mengambil sepedaku tidak sekarang, tapi besok atau lusa, wanita itu hanya bisa mengatakan “iya”.
Dua hari kemudian aku dating ke rumah wanita itu bersama dengan bapakku yang terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya untuk mengambil sepedaku, maklumlah di rumah hanya aku dan nenekku dan tak ada laki-laki di rumah. Setibanya di rumah iru, kami langsung disambut oleh anak laki-laki kecil.
“Mau ambil sepeda ya mbak?” tanyanya polos.
“Iya  dek?”
“Tunggu ibu sebentar ya mbak, ibu sedang pergi, tadi katanya kalu ada orang yang mau ngambil sepeda suruh tunggu ibu pulang, ibu hanya sebentar kok mbak,” kayanya lagi.
“Iya dek,” jawabku pendek.
Sambil menunggu kedatangan ibu itu, bapak mengutak-atik sepedaku dengan harapan tak perlu masuk bengkel untuk yang ke sekian kalinya, karena sering masuk bengkel aku jadi lupa yang ke berapa. Ya sebenarnya aku sich tak heran kalau bapak mengutak-atik sepedaku seperti itu, karena dulu bapak pernah kerja di bengkel.
“Sepedanya rusak ya Pak?” tanya anak kecil itu pada bapak.
“Iya nak?” jawab bapak.
Tak lama setelah itu wanita yang merupakan pemilik rumah itu sekaligus ibu dari anak laki-laki itu datang.
“Maaf ya, menunggu,” katanya.
“Taka apa-apa bu,” jawabku.
“Saya tinggal sebentar ya saya mau mempersiapkan makanan buat diba’an nanti sore,” katanya kemudian seraya tida enak karena tidak bisa menemui kami.
“Iya Mbak nggak pa pa,” jawab Bapak.
Kulihat sekilas rumah itu. Rumah yang mungil itu di teras rumahnya ada setumpuk sampah plastik botol minuman bekas. Aku baru ingat bahwa wanita yang sering ku temui di sekolah yang biasanya mengais sampah botol bekas di sekitar kelas kami. Setelah itu kulihat ruangan dalam rumahnya, tak ada kursi maupun meja, yang ada hanya tikar dan kasur sebagai tempat tidur mereka. Kemudian kulihat ada dua anak perempuan kembar yang ternyata adalah kakak dari anak kecil tadi.
Dalam renunganku itu, tiba-tiba salah satu anak perempuan tadi membawakan dua gelas teh. Kutanyai ia, ayahnya berkerja di mana. Alangkah terkejutnya aku ketika ku tahu bahwa ayahnya telah meninggal saat mereka baru berumur 3 tahun. Dan hatiku semakin terasa tak karuan saat itukarena memikirkan betapa beruntungnya aku yang hidup cukup selama ini, tapi aku masih sering mengeluh.
Ya Allah maafkanlah aku. Dalam leadaan yang sulit seperti itu mereka masih mau member kami segelas teh manis yang mungkin mereka sendiri jarang meminumnya. Selain itu mereka juga rela dengan ikhlas menyumbang makanan untuk acara diba’an, sedangkan aku mengeluarkan uang seribu pun tiap minggu terasa sangat berat, tapi mereka… Ya Allah ternyata Kau telah memberikan cahaya-Mu di rumah ini sehingga tercapai ketentraman di dalam rumah ini dan penghuninya merasa tak pernah kekurangan secuil pun. Ya Allah berikan aku cahaya juga dalam hidupku, dan berikanlha aku rejeki yang banyak agar aku dapat membantu mereka. Amin.
Aku masih asyik merenung, ketika sepedaku ternyata sudah selesai diperbaiki oleh bapak. Dan bapak mulai merogoh kantongnya, ketika kulihat sekilas ada uang 5-ribuan dan 10-ribuan, aku berharap bapak akan memberikan uang 10-ribuan itu kepada anak kecil itu, kemudian anak kecil itu berkata:
“Sepedanya sudah selesai ya Pak?” tanyanya polos.
“Iya Nak,” jawab Bapak pendek, tanpa berpikir panjang Bapak langsung memberikan uang 10 ribu itu.
“Ini Nak buat belie s,” kata Bapak.
“Makasih ya Pak,” kata anak kecil itu lagi, dia terlihat senang sekali dan memamerkan kepada ibunya.
“Makasih ya Pak, saya doakan urusan bapak dan adek ini lancer.” Kata wanita itu.
“Inggih, Bu makasih,” kata Bapak.
Ya Allah, terimakasih telah membukakan mataku tentang kenikmatan yang selama ini sering aku lupakan. Kau telah memberikan cahaya-Mu di sini untuk membangun rumah ini.

>> Sumber : Majalah Karisma 2011 – ucik_rosecu@

0 komentar:

Posting Komentar